Jumat, 05 April 2013

Asuransi Syariah


Problematika Perhajian




TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP PEMBIAYAAN AL-QARDH (DANA TALANGAN) PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Perkembangan perbankan dan lembaga keuangan syariah bergerak dengan cepat, baik di panggung perekonomian nasional maupun internasional. Produk-produk inovatif bermunculan secara revolutif. Design-design kontrak multi-akad menjadi tak terhindarkan, yang terkadang membuat fatwa-fatwa syariah dan materi kompilasi hukum Islam di Indonesia menjadi ketinggalan. Para praktisi perbankan dan keuangan syariah serta pakar ekonomi Islam harus memahami dengan baik perkembangan mutakhir tentang inovasi produk perbankan dan lembaga keuangan syariah tersebut. Syariah Islam sebagai suatu hukum yang dibawa oleh rasul terakhir, haruslah menjadi rujukan utama dalam setiap produk dan praktek perbankan syariah. karena itu, penulis akan membahas pembiayaan qardh atau dana talangan menurut tinjauan fiqh muamalah.
II. PENGERTIAN AL-QARDH
Secara umum pinjaman merupakan pengalihan hak milik harta atas harta. dimana pengalihan tersebut merupakan kaidah dari al-qardh. Qardh secara bahasa, bermakna Al-Qath’u yang berarti memotong. Ini termasuk penggunaan ism masdar untuk menggantikan ism maf`’ul. Harta yang disodorkan kepada orang yang berhutang disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. Kemudian kata itu digunakan sebagai bahasa kiasan dalam keseharian yang berarti pinjam meminjam antar sesama. Salah seorang penyair berkata, “Sesungguhnya orang kaya bersaudara dengan orang kaya, kemudian mereka saling meminjamkan, sedangkan orang miskin tidak memiliki saudara” Menurut Hukum Syara’, para ahli fiqh mendefinisikan Qardh sebagai berikut : 1. Menurut pengikut Madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa qardh adalah suatu pinjaman atas apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam baik hati. 2. Menurut Madzhab Maliki, Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal. 3. Menurut Madzhab Hanbali, Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya. 4. Menurut Madzhab Syafi’i, Qardh adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya. Dilihat dari definisi diatas, maka pinjaman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pinjaman seorang hamba untuk Tuhan-Nya dan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya. Pinjaman seorang muslim untuk Tuhannya yaitu pinjaman yang diberikan untuk membantu saudaranya tanpa mengharap kembalinya barang tersebut karena semata-mata untuk mengharapkan balasan di akhirat nanti. Hal ini mencakup infaq untuk berjihad, infaq untuk anak-anak yatim, infaq untuk orang-orang jompo, dan infaq untuk orang-orang miskin. Sedangkan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya adalah pinjaman yang sering kita lihat didalam kehidupan bermasyarakat, yang mana seseorang meminjam dari temannya karena didorong oleh adanya suatu kebutuhan dengan ketentuan mengganti/mengembalikan pinjaman tersebut. Secara umum, arti qardh serupa dengan arti jual beli, karena qordh adalah pengalihan hak milik harta atas harta. Qardh juga termasuk jenis salaf. Dalam literatul fiqh salaf as sholih qardh dikatagorikan dalam akad tathowui` atau akad saling bantu membantu dan bukan transaksi komersial. III. TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP AL-QARDH (DANA TALANGAN) A. Aspek Al-Qur’an 1. Al-Baqarah : 245 “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (Al-Baqarah : 245) 1. Al-Maidah : 2 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah : 2) 3. al-Hadid ayat 11. “ Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (al-Hadid ayat 11) B. Aspek As-Sunnah Dari Anas ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda : ”Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di pintu surga tertulis ‘shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata : “Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama dari shadaqoh?’ ia menjawab “karena ketika meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak berutang kecuali karena kebutuhan”. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abas bin Malik ra, Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Umamah ra). Dari Ibnu Mas`ud meriwatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda : “bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah ( senilai ) shodaqoh”. (HR Ibnu Majah) C. Aspek Ijma’ Secara ijma’ juga dinyatakan bahwa Qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh(orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang berutang). Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak meyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa, telur. Tidak diperbolehkan melakukan qardh atas harta yang tidak memiliki kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan agrarian, dan harta biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok, karena tidak mungkin mengembalikan dengan semisalnya. Karena menurut golongan ini, bahwa pinjam meminjam dengan sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan yang serupa tidak diperbolehkan. Hak kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad – berlaku melalui Qabdh (penyerahan). Jika seseorang berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh, maka ia berhak menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh. Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu berlangsung. Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas semua harta yang bisa diperjualbelikan objek salam, baik ditakar, atau ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta, biji-bijian. Madzhab Imam Malik menambahkan definisi ini dengan beberapa point berikut : 1. Hendaklah barang yang dipinjamkan mempunyai nilai jual, dengan begitu tidak dibenarkan meminjamkan sepotong api. 2. Orang yang meminjam harus mengembalikan barang pinjamannya. 3. Pengembalian pinjaman hendaklah diberikan sesudah menerima pinjamannya. 4. Hendaklah orang yang memberikan pinjaman tersebut berniat untuk memberikan manfaat kepada orang yang meminjam saja, dan tidak berniat untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk mendapatkan keuntungan bersama. 5. Tidak boleh meminjamkan alat fital seorang sahaya perempuan kepada seseorang untuk dimanfaatkan 6. Hendaklah orang yang meminjam sesuatu harus menjamin bahwa ia akan mengembalikan pinjamannya, sehingga dalam hal ini masjid dan madrasah tidak bisa dipinjamkan. Setelah kita memberikan pinjaman kepada seseorang (saudaranya), hendaklah pinjaman tersebut mengandung unsur kebaikan, begitu juga apabila pinjaman tersebut telah jatuh tempo. Ber-ihsan dalam menagih hutang (Qardh), adakalanya dilakukan dengan menganggapnya lunas, semua maupun sebagiannya, atau dengan mengundurkan waktu pembayaran tersebut yang telah jatuh tempo, ataupun dengan mengurangi pelbagai persyaratan pembayaran yang telah memberatkan. Semua itu sangat dianjurkan, Sebagaimana dalam Sabda Nabi SAW : “Rahmat Allah tercurah atas siapa-siapa yang’mudah’ dalam membeli, ‘mudah’ dalam menjual, ‘mudah dalam membayar dan ‘mudah’ dalam menagih” Rasulullah SAW, juga pernah menyebutkan tentang seorang laki-laki yang masa lalunya penuh dengan perbuatan dosa, yang ketika dihisab, ternyata tidak memiliki cacatan amal kebaikan yang pernah ia lakukan. Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah anda tidak pernah melakukan kebaikan apapun ? “Tidak, “jawabnya. “Tetapi saya dahulu adalah seorang pemberi hutang, dan senantiasa mengingatkan kepada para pegawai saya : ‘Perlakukanlah yang mampu diantara para penghutang dengan perlakuan yang baik, dan undurkanlah waktu pembayaran bagi yang dalam kesusahan’. (Dalam versi lain : ‘….dan maafkanlah (yakni anggaplah hutangnya lunas) bagi yang dalam kesusahan’). Lalu Allah SWT pun menghapus dosa-dosanya dan mengampuninya. Seandainya semua masyarakat mengetahui hal demikian, tidak akan terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang (pemilik harta) berbuat zhalim kepada orang yang membutuhkan bantuan. Apalagi ditengah kondisi krisis sekarang ini. Dimana, kita sebagai orang yang memiliki kelebihan harta hendaklah menolong saudara-saudara kita yang telah dilanda kesusahan dengan memberikan bantuan berupa pinjaman yang ihsan, bahkan tidak sekadar itu dapat memberikan Qardhul Hasan (menginfakkan, mensedeqahkan sebagaian hartanya tanpa mengaharapkan imbalan seperserpun tetapi hanya mengharap ridha Allah SWT). Tetapi kalau hanya memikirkan kehidupan duniawi manusia takluput akan kerakusan harta, yang diingat hanyalah berapa besar kelebihan dari kembalian harta yang telah dipinjamkan.
D. Hukum Qardh Dalam panjelasan tiga aspek fiqh di atas, Para ulama telah menyepakati bahwa qardh boleh dilakukan, kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan didunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya.
a. Rukun dan Syarat
  1. Rukun : - Muqridh (pemilik barang) - Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam) - Ijab qobul - Qardh (barang yang dipinjamkan) 
  2. Syarat sah qardh : - Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak ada kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap harta. - Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan qobul seperti halnya dalam jual beli. 
b. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Qardh Mazhab Maliki berpendapat, hak kepemilikan dalam shadaqah dan ariyah berlangsung dengan transakasi, meski tidak menjadi qabdh atas harta. Muqtaridh diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri. Baik harta itu memiliki kesepadanan atau tidak, selama tidak mengalami perubahan; bertambah atau berkurang, jika berubah maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.
Mazhab Syafi’I menurut riwayat yang paling shahih dan mazhab Hambali berpendapat, hak milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Menurut Syafi’I muqtaridh mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dihutang adalah harta yang sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya dan jika yang dihutang adalah yang memiliki nilai, ia mengembalikan dengan bentuk yang semisal, karena Rasulullah saw telah berutang unta usia bikari lalu mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata “sesunguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam membayar utang”. Hanabilah mengharuskan pemgembalian harta semisal jika yang dihutang adalah harta yang bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para ahli fiqih. Sedangkan jika obyek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada dua versi : harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh, atau harus dekembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.
c. Hukum Qardh Yang Mendatangkan Keuntungan Mazhab Hanafi dalam pendapatnya yang paling kuat menyatakan bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut disepakati sebelumnya. Jika belum disepakati sebelumnya dan bukan merupakan tradisi yang biasa berlaku, maka tidak mengapa. Begitu juga hukum hadiah bagi muqridh. Jika ada dalam persyaratan maka dimakruhkan, kalau tidak maka tidak makruh.
Mazhab Maliki : tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari harta muqtaridh, seperti menaiki untanya dan makan di rumahnya karena hutang tersebut dan bukan karena penghormatan dan semisalnya. Sebagaimana hadiah dari muqtaridh diharamkan bagi pemilik harta jika tujuannya untuk penundaan pembayaran hutang dan sebagainya,
Mazhab Syafi’I dan Hanabilah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat rumah orang tersebut dijual kepadanya. Atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar dari mutu yang lebih baik atau dikembaliakan lebih banyak dari itu. Karena Nabi SAW melarang hutang bersama jual beli.
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili jika seseorang mengutangkan kepada orang lain tanpa ada persyaratan tertentu, lalu orang tersebut membayarnya dari jenis yang lebih baik atau jenis yang lebih banyak, atau menjual rumahnya kepada pemberi hutang, diperbolehkan dan muqridh boleh mengambilnya berdasar pada riwayat Abi Rofii’bahwa ia berkata “ Rasulullah Saw pernah berutang unta seusia bikari kepada seseorang lalu Rasulullah mendapat unta sedekah. Lalu beliau menyuruh saya untuk membayar kepada orang tersebut seekor unta bikari. Saya berkata “ ya Rasul, saya tidak mendapati kecuali unta berusia Rubai’yah dari jenis yang bagus, Rasulullah bersabda “berikanlah kepadanya, sesungguhnya sebaik baik kamu adalah yang paling baik membayar hutang”. Ringkasnya,
 Qardh diperbolehkan dengan dua syarat.
 (1) Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan tersebut untuk muqridh, maka para ulama sudah bersepakat bahwa ia tidak diperbolehkan. Karena ada larangan dari syariat dan karena sudah keluar dari jalur kebajikan, jika untuk muqtaridh, maka diperbolehkan. Dan jika untuk mereka berdua, tidak boleh, kecuali jika sangat dibutuhkan. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dalam mengartikan “sangat dibutuhkan”.
(2) Tidak dibarengi denagan transaksi lain, seperti jual beli dan lainnya. Adapun hadiah dari pihak muqtaridh, maka menurut Malikiah tidak boleh diterima oleh Muqridh karena mengarah pada tanbahan atas pengunduran. Sedangkan Jumhur ulama membolehkan jika bukan merupakan kesepakatan. Sebagaimana diperbolehkan jika antara Muqridh dan Muqtaridh ada hubungan yang menjadi fakor pemberian hadiah dan bukan karena hutang tersebut. Dari sini, menurut jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memenen sehari, atau menempoati rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati rumahnya.
IV. APLIKASI QARDH DALAM PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA.
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan antara lain untuk pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji. Atas jasa bank memberikan dana talangan tersebut bank dapat memperoleh fee (ujrah). Contoh lain penggunaan skema qardh dalam perbankan syariah adalah pemberian dana talangan/pinjaman uang kepada nasabah premium yang memiliki deposito di bank tersebut guna mengatasi kesulitan likuiditas nasabah tersebut. Pinjaman uang tersebut dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Atas jasa peminjaman dana bank memperoleh fee (ujrah) yang besarnya tidak tergantung pada jumlah dana yang di pinjamkan. 
Dalam perbankan syariah, akad qardh biasanya diterapkan sebagai berikut :
(1) Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya yang membutukkan dana talangan segera untuk masa yang relative pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
(2) Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
(3) Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil, atau membantu sector social. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu qardhul hasan.
Sifat qardh tidak memberi keuntungan financial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut :
(1) Qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek, seperti talangan danda di atas, dapat diambilkan dari modal bank.
(2) Qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan shadaqah, dan juga dari pendapatan bank yang dikategorikan seperti jasa nostro di bank korespondeng yang konvensional, bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan sebagainya. Manfaat yang didapat oleh bank dari transaksi qardh adalah bahwa biaya andministrasi utang dibayar oleh nasabah. Manfaat lainnya berupa manfaat nonfinansial, yaitu kepercayaan dan loyalitas nasabah kepada bank tersebut.
Risiko dalam qardh terhitung tinggi karena ia dianggap pembiayaan yang tidak ditutup dengan jaminan. Manfaat akad qardh terhitung sangat banyak sekali diantaranya :
(1) Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek.
(2) Qardhul hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda bank syariah dengan bank konvensional yang didalamnya terkandung misi sosial, disamping misi komersial.
 (3) Adanya misi sosial kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.

PERATURAN-PERATURAN MENGENAI ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA

PERATURAN-PERATURAN MENGENAI ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA Selama ini, asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Secara operasional asuransi syariah masih mengacu pada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik berupa peraturan pemerintah melalui PP No. 73 Tahun 1992 jo PP No. 63 Tahun 1999 jo PP No. 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan usaha perasuransian, maupun regulasi menteri keuangan yang berkaitan dengan asuransi syariah dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI melalui Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan asuran si syariah. Regulasi yang ada tersebut sudah lebih baik dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan asuransi syariah karena regulasi tersebut dikeluarkan pemerintah melalui menteri keuangan berkaitan dengan asuransi syariah, namun regulasi yang ada dan Fatwa DSN-MUI belum bisa mengakomodasi asuransi syariah karena Fatwa DSN-MUI tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur asuransi syariah Maka pada tahun 2011 lalu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menerbitkan dua peraturan terkait dengan usaha asuransi dan reasuransi dengan prinsip syariah, yaitu tentang laporan usaha dan penyediaan dana untuk mengantisipasi risiko kerugian. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) adalah Peraturan Nomor: PER-06/BL/2011 dan Peraturan Nomor: PER-07/BL/2011. Peraturan Nomor: PER-06/BL/2011 mengatur tentang bentuk dan susunan laporan serta pengumuman laporan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah. Sementara Peraturan Nomor: PER-07/BL/2011 mengatur tentang pedoman perhitungan jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian pengelolaan Dana Tabarru' dan perhitungan jumlah dana yang harus disediakan perusahaan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dalam penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah. Penerbitan kedua peraturan itu merupakan amanat dari Pasal 4 ayat (3), Pasal 25 ayat (4), Pasal 40 ayat (5), dan Pasal 45 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Peraturan Ketua Bapepam-LK itu antara lain mengatur kewajiban perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah untuk menghitung jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban dana tabarru'. Juga kewajiban menghitung jumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, dan/atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Ketua Bapepam-LK dimaksud. Peraturan tersebut juga mengatur kewajiban perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah untuk menyusun laporan perhitungan tingkat solvabilitas dana tabarru' tahunan dan triwulanan (untuk asuransi jiwa dan kerugian dan usaha reasuransi). Juga kewajiban menyusun laporan perhitungan solvabilitas dana perusahaan tahunan dan triwulanan (untuk asuransi jiwa dan kerugian dan usaha reasuransi), dan laporan dana investasi peserta tahunan dan triwulanan (untuk asuransi jiwa), serta laporan dana jaminan tahunan dan triwulanan (asuransi jiwa dan kerugian dan usaha reasuransi) sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Ketua Bapepam-LK dimaksud. Kedua peraturan Ketua Bapepam-LK itu mulai berlaku sejak ditetapkan 29 April 2011. Dalam rangka untuk lebih menjamin peningkatan perlindungan terhadap para pemegang polis pada perusahaan perasuransian, menciptakan iklim usaha perasuransian yang tangguh, dan mendukung perkembangan usaha perasuransian nasional, maka Kementrian Keuangan, Bapepam-LK, bersama dengan SK Dirjen telah menetapkan beberapa Keputusan. Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu: 1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusa¬haan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. 2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/ KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. 3. Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia Nomor 11//PMK.010/2011 Tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. 4. Keputusan Mentri Keuangan Republik Indonesia PMK No. 18/PMK.010/2010 Tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah . 5. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah. 6. Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor:PER-08/BL/2011 tentang Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah Pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang Menyelenggarakan Seluruh atau Sebagian Usahanya dengan Prinsip Syariah. 7. Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor:PER-07/BL/2011 tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Dana yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana Tabarru' dan Perhitungan Jumlah Dana yang Harus Disediakan Perusahaan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian yang Mungkin Timbul Dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah. 8. Peraturan Ketua Bapepam-LK Nomor:PER-06/BL/2011 tentang Bentuk dan Susunan Laporan Serta Pengumuman Laporan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.

REFORMASI PENGELOLAAN HAJI DI INDONESIA Oleh, Jafril Khalil, MCL, PhD

REFORMASI PENGELOLAAN HAJI DI INDONESIA Oleh, Jafril Khalil, MCL, PhD Bagi umat Islam berhaji adalah sesuatu yang mesti dilakukan, ia adalah rukun Islam kelima, tidak sah seseorang menjadi muslim, bagi yang mampu, kecuali ia mesti berhaji. Sebab itu apapun halangan yang mereka hadapi untuk mencapai itu, akan mereka perjuangkan dengan berbagai cara. Walaupun ongkos untuk naik haji begitu tinggi dan berat bagi masyarakat, tetapi niat mereka tidak pernah surut untuk berhaji, demi haji kadang mereka menjual aset-aset penting. Padahal aset-aset tersebut amat berharga bagi masa depan mereka, namun demi haji mereka tidak memikirkan lagi masalah masa depan, apalagi dalam motivasi berhaji Rasulullah mengatakan bahwa “haji yang mabrur tiada upahnya kecuali surga” (HR Bukhari:1683, Muslim: 1349) artinya orang kalau berhaji dan mendapat haji mabrur, mereka akan masuk surga. Umat Islam yang menebar di seluruh negara, dengan berbagai budaya, kemampuan fisik berbeda, kemampuan ekonomi yang tidak sama, bahasa yang beragam dan dengan berbagai kelebihan dan kekurangan, mereka satu dalam tujuan yaitu berhaji. Namun yang perlu kita sadari, bahwa mengurus dan mengelolala perhajian ini pasti tidak mudah. Selama puluhan tahun pemerintah melalui Kementerian Agama telah mengurus pengelolaan haji ini, dan sepanjang ini , kalau disimak, setiap tahun yang terjadi semakin komplitnya masalah yang timbul. Kementerrian agama boleh dikatakan telah gagal mengurus pengelolaan perhajian ini, walaupun dalam versinya, mereka telah bekerja maksimal dan baik. Sayangnya setiap kali masyarakat mengkritisi pengelolaan haji ini, pemerintah selalu resisten, padahal yang diinginkan masyarakat adalah bagaimana pemerintah sebaik mungkin dapat mengelola perhajian ini sehingga tercapai kenyamanan optimal bagi masyarakat yang sedang menjalankan ibadah hajinya. Indonesia mesti berani mereformasi sitem pengelolaan perhajiannya, seperti yang pernah dilakukan oleh Malaysia, Singapore, Iran dan negara-negara lainnya. Kalau kita mau berkaca kepada negara-negara ini, tentu masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan Haji ini tidaklah se komplit yang ada sekarang. Ada beberapa masalah utama yang perlu kita reformasi, pertama pengelolaan dana haji. Hari ini Kementerian Agama telah mengelola dana haji tanpa ada transparansi dan tanpa nilai manfaat yang besar bagi jamaah haji. Coba kita bayangkan kalau seseorang menyetor dana Rp 20 juta dan masa tunggunya adalah sepuluh tahun ke depan, sebenarnya dengan keuntungan sekitar 7% setahun dana tersebut sudah cukup untuk biaya perjalanan haji mereka yang diperkirakan sepuluh tahun ke depan sekitar Rp 42 juta. Sekarang apa yang terjadi? uang yang jumlahnya Rp 20 juta hari ini tetap sebanyak itu pada tahun 2022, alangkah naasnya bangsa ini diperlakukan tidak adil oleh pemerintahnya sendiri. Coba kita bandingkan dengan negara tetangga, mereka telah berhasil meinvestasikan dana calon hajinya dengan baik, dengan demikian berhaji akhirnya menjadi murah, karena ditambah dengan hasil investasinya. Sekarang uang rakyat yang jumlahnya sudah puluhan triliunan itu disimpan oleh dan atas nama Kemenag. Bagaimana cara investasinya dan kemana hasil investasinya tidak ada orang yang tahu, dana sebesar itu tentu saja akan menjadi fitnah, maksud saya gampang untuk diselewengkan hasil investasinya, dan siapa tidak tergoda dengan manfaat yang dapat diambil dari dana tersebut. Sudah lebih sepuluh tahun pemerintah mengambil keuntungan dana tersebut tanpa ada audit yang transparan tentang penggunaan hasil investasinya. Mungkin pemerintah berdalih sudah dikembalikan kepada jamaah dalam bentuk manfaat, tentu saja ini merupakan pembodohan terhadap masyarakat. Sebab yang dikembalikan kepada jamaah adalah dalam jumlah yang kecil, kalau dibandingkan dengan hasil investasi yang didapat. Kedua sistem pelayanan jamaah haji sebelum berangkat, pemerintah pada saat ini seperti kewalahan dengan berbagai masalah-masalah yang terjadi, seperti banyaknya jumlah masyarakat yang tidak jadi berangkat, banyaknya orang lanjut usia yang diberi kesempatan lebih sepuluh tahun ke depan padahal masa hidupnya mungkin sampai 5 tahun ke depan. Dengan demikian sangat tipis kemungkinan ia dapat berangkat menunaikan ibadah haji , atau ketika ia menunaikan ibadah haji umurnya sudah terlalu tua yang menyebabkan fisiknya lemah, dimana ia tidak akan dapat beribadah secara sempurna atau bisa saja ia meninggal di perjalanan, seperti yang kita perhatikan setiap tahunnya tingkat kematian jamaah Indonesia termasuk yang paling tinggi lebih kurang 0,3% selama 45 hari perjalanan. Tidak terdapatnya sistem on line yang menjangkau sampai ke kecamatan-kecamatan di Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai masalah dalam pendaftaran, apalagi adanya haji non kuota yang tidak jelas aturan mainannya, sehingga menimbulkan berbagai bentuk penipuan terhadap masyarakat, dimana penipuan tersebut tidak pernah dituntaskan penyelesaiannya dan setiap tahun terulang lagi dan terulang lagi tanpa adanya hukuman yang berat yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para penipu ini. Tidak jelasnya program pemerintah dalam menentukan ongkos naik haji setiap tahunnya membuat masyarakat bingung dan kadang-kadang menyusahkan mereka dalam menyediakan dana yang tidak jelas jumlahnya. Apalagi penetapan ongkos perjalanan tersebut bertele-tele, ia mesti masuk ke DPR, dan pembahasannya memakan waktu, setiap tahun pemerintah dan DPR selalu beradu argumentasi tentang berbagai hal yang tidak penting yang pada akhirnya semua itu menyusahkan calon haji. Sumber daya manusia yang mengurus pengelolaan haji bukanlah manusia-manusia profesional yang bekerja dengan baik sesuai dengan kompetensinya, jamaah dianggap sebagai objek yang dilayani secara asal. Karena yang dilayan mayoritasnya orang-orang kampung, maka mereka membiarkan saja segala ketidak sempurnaan dalam pelayanan ini. Para pekerja haji ini sebagian besar adalah pekerja musiman yang tidak belajar secara profesional bagaimana menjalankan profesi dibidang hospitalisasi. Ketiga adalah masalah pelayanan selama menunaikan ibadah haji mulai dari handdling saat mereka berangkat, kenyamanan transportasi, kenyamanan penginapan, kenyamanan dalam melaksanakan ibadah dan kenyamanan makanan, minuman, pelayanan kesehatan sampai saat handling setelah mereka kembali ke tanah air dll. Kalau kita jujur, akomodasi yang disediakan oleh pemerintah untuk jamaah haji boleh dikatakan yang termahal, terburuk dan terjauh dari kegiatan ibadah. Jarak antara penginapan ke masjid kalau sudah melebihi tiga kilometer tentu susah untuk jamaah datang ke masjid, apalagi kalau jamaahnya sudah tua tentu mereka akan keletihan, akhirnya sebagian mereka tidak bisa datang ke masjid, bukankah suatu kezaliman yang kita lakukan kepada mereka? Sebab mereka sudah menabung uangnya sebegitu lama untuk datang ibadah ke Masjidil Haram, tetapi akibat kelalaian kita, mereka tidak bisa datang ke Masjid. Mungkin pemerintah sudah mengantisipasi dengan menyediakan bus, sayangnya antara jumlah jamaah dan bus yang disediakan tidak seimbang. Kondisinya berulang secara terus menerus setiap tahunnya, pemerintah tidak ada uapaya maksimal untuk memperbaiki pemondokan dan pelayanan fasilitas yang lebih bermutu untuk jamaah, akibatnya setiap tahun jamaah selalu mengeluh, dan pemerintah seakan sudah kebal dengan keluhan jamaah, dan sebagian mereka mengeluarkan fatwa aneh, dimana “kalau jamaah tidak bisa ke Masjid ya sudah shalat di penginapaan saja, pahalanya sama saja, sebab sama-sama di tanah haram”. Fatwa lainnya disampaikan kepada jamaah bahwa “setiap kita mesti banyak bersabar, orang yang tidak sabar dalam berhaji nanti hajinya tidak mabrur”. Akhirnya dengan segala macam dalih itu jamaah terpaksa menerima apa adanya. Tapi bukankah itu suatu penzaliman kepada jamaah? Sudah puluhan tahun bangsa ini mengurus pemondokan jamaah haji di Saudi Arabiah, tetapi mind set nya setiap tahun dan setiap menteri sama saja, tidak ada yang berani membuat perubahan yang radikal. Mungkin saja ini bisa terjadi karena nuansa bisnis dalam pemondokan ini sangat tinggi, tentu ada kepentingan orang-orang tertentu yang akan terganggu kalau dilakukan perubahan secara radikal. Pemerintah Indonesia mungkin lupa, banyak negara lain sudah berubah, perhatikan saja beberapa negara yang sadar terhadap kebutuhan rakyatnya, mereka berinvestasi dalam pemondokan untuk jamaah dari negaranya, sehingga jamaah dapat menikmati pemondokan yang memadai, nyaman bersih dan murah. Lambat laun tentu masyarakat kita akan menilai, betapa lambannya pemerintahnya mengurus kepentingan rakyatnya, senang atau tidak kita sangat cemburu kepada negara-negara lain yang begitu tinggi perhatian pemerintahnya kepada rakyatnya. Apa yang perlu kita reformasi? Kalau kita simak dengan akal pikiran yang sehat dan nurani yang bersih, maka ia akan berkata “ kita mesti mereformasi secara total pengelolaan haji ini. Ia perlu dikeluarkan dari Kementerian Agama. Buatkan lembaga khusus buat dia, dimana pertanggungjawabannya langsung kepada Presiden. Lembaga ini bekerja secara otonom penuh secara profesional, ia bekerja menghimpun dana haji, menginvestasikannya dan menggunakannya secara profesional, dengan demikian setiap dana yang disetorkan oleh jamaah manfaatnya langsung akan kembali kepada jamaah. Akan terjadilah optimalisasi dari dana yang dikumpulkan. Dana ditabung atas nama setiap pribadi masyarakat, jadi keuntungannya jelas akan lari ke rekening masing-masing yang pada akhirnya masyarakat akan dapat menikmati perjalanan haji yang jauh lebih murah di banding dengan sekarang. Hasilnya, jika ada calon jamaah mendapat kursi sepuluh tahun ke depan dengan hanya menyetorkan uang sebanyak Rp 20 juta sekarang, maka ia tidak perlu lagi menambah dananya, sebab dana yng tersedia akan memunculkan keuntungan, dimana dengan keuntungan tersebut dapat mencukupi biaya perjalananannya. Berbeda apa yang dibuat oleh pemerintah sekarang, walaupun dana orang sudah mengendap sepuluh tahun di Kementerian Agama, dana tersebut tetap juga dihitung sejumlah itu, alangkah zalimnya perlakuan pemerintah kepada rakyat. Lembaga ini juga bertanggungjawab sepenuhnya memberikan pelayanan optimal kepada jamaah haji, baik sebelum mereka berangkat maupun selama pelaksanaan haji. Kalaulah dilaksanakan sistem pendaftaran dan pelayanan haji sebelum keberangkatan secara profesional tentu jamaah dimanapun mereka tinggal akan mampu dilayani dengan baik dan kita yakin akan tercapainya tingkat kepuasan yang optimal. Lembaga ini tentu dengan cara yang benar bisa mencari pesawat yang terbaik dan murah, karena pasarnya sudah kaptif, pastilah sangat menarik bagi maskapai-maskapai besar dunia melayani jamaah haji Indonesia ini. Tidak seperti sekarang, dimana pesawatnya sering terlambat, kurang ada keleluasaan dalam pesawat, sebab mereka merubah susunan kursinya agar dapat dimuat sebanyak mungkin. Demikian juga dengan pemondokan, pastilah lembaga ini akan berpikir yang rasional untuk jangka panjang, bagaimana pemondokan haji ini bisa dibuat seefisien dan sebaik mungkin. Mereka tidak akan tega menempatkan jamaah sampai jarak lima kilometer dari masjidil haram dan tidak akan menempatkan mereka pada rumah-rumah yang minim fasilitas dan asalan. Mereformasi pengelolaan perhajian tentu memerlukan waktu dan direncanakan secara matang, seandainya pemerintah mempunyai niat untuk berubah, pastilah ia akan melakukan upaya-upaya maksimal agar tujuan konstitusi negara tercapai. Nait yang ikhlas upaya maksimal dan kemauan berubah yang kuat insyaallah pasti melahirkan suatu produk yang berkualitas tinggi dan membahagiakan kepada seluruh pihak-pihak yang berkepentingan.